Cirebon Smart City, Pelayanan Masyarakat dalam Ketukan Jari

Cirebon Smart City, Pelayanan Masyarakat dalam Ketukan Jari
Oleh: Mughits Rifai


Cirebon, smart, dan city memang bukan kumpulan kata yang selalu tampil beriringan. Ketiganya baru sedang digadang-gadang untuk bisa selalu tampil beriringan. Dengan kata lain, Cirebon Smart City merupakan gagasan baru yang sedang diproyeksikan sebagai solusi alternatif problematika pengembangan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat Kota Cirebon.

Namun begitu, selayaknya setiap hal baru, konsep smart city tentu akan mengundang banyak pertanyaan bahkan mungkin gelombang penolakan dari kalangan masyarakat sendiri. Minimnya informasi dan kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Kota bisa menjadi pemicu utama. Didasari oleh pemikiran itu, tulisan ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan dan kegelisahan masyarakat yang mungkin akan muncul sebagai ekses dari penerapan smart city di Cirebon.

Apa Itu Smart City?


Laman ensiklopedi internet, wikipedia mendefinisikan konsep smart city atau kota cerdas sebagai kota yang memanfaatkan teknologi digital atau teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan mutu dan performa pelayanan perkotaan, sebagai upaya mengurangi biaya dan penggunaan sumberdaya serta meningkatkan jalur komunikasi dan partisipasi yang aktif dan efektif bagi warganya (1). Dari definisi ini, ada beberapa kata kunci yang penting yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah smart city. Kata kunci tersebut antara lain adalah teknologi, pelayanan, dan komunikasi.


Dengan demikian, sebuah wilayah perkotaan bisa disebut sukses menyandang predikat smart city jika terpenuhi tiga komponen penting tersebut. Pertama, harus ada pemanfaatan teknologi digital atau teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bentuk pemanfaatan teknologi ini tentu saja bisa dengan berbagai cara seperti mengelola website pemerintah kota, mengembangkan aplikasi pelayanan masyarakat, memanfaatkan jejaring sosial, dan sebagainya. Tentu saja ini merupakan bagian yang penting terutama dalam hal transparansi publik, efektivitas pelayanan publik, dan komunikasi warga dengan pemerintah.

Kedua, pengembangan smart city harus didasarkan pada peningkatan kualitas dan performa pelayanan publik. Kerumitan birokrasi dan antrian yang panjang dalam pelayanan kebutuhan masyarakat harus dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Dengan begitu, pelayanan akan lebih cepat dan mudah. Tidak hanya itu, tentu kualitas pelayanan juga harus menjadi prioritas.

Ketiga, komunikasi antara pemerintah dan warga harus dapat terjalin dengan lebih aktif dan efektif. Melalui layanan call center bebas pulsa atau jejaring sosial, warga masyarakat dapat secara langsung berkomunikasi dengan pimpinan pemerintahan atau melalui pihak terkait. Dengan begitu, pemerintah juga dapat merespon dalam waktu yang relatif singkat. Salah satu contoh nyata yang sudah dilakukan Kota Bandung melalui walikotanya, Ridwan Kamil, adalah pengembangan aplikasi panic button yang dapat digunakan warga ketika terjadi keadaan darurat.

Perlukah Cirebon Menjadi Smart City?

Melihat tiga komponen tolok ukur smart city tersebut, tentu itu adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Tapi, perlukan Cirebon menjadi smart city? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mempertimbangkan dua hal, importance (kepentingan) dan readiness (kesiapan).


Dari sudut pandang importance, Cirebon boleh jadi sudah mulai memasuki tahap perlu bahkan mungkin harus menjadi smart city. Hal ini tentu bukan tidak beralasan. Kota Cirebon, yang memiliki luas wilayah lebih dari 73 km2 dan jumlah penduduk lebih dari 298.000 jiwa, berada di wilayah pantai utara Jawa atau pantura. Jalur pantura ini merupakan jalur utama di Pulau Jawa, sehingga tidak mengherankan jika Cirebon dikunjungi banyak orang setiap tahunnya. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Cirebon sepanjang 2014 tercatat mengalami peningkatan sebesar 9,24 persen dari tahun sebelumnya. Sepanjang 2014, tercatat sebanyak 10.921 wisatawan asing dan 596.046 wisatawan domestik menjadikan Cirebon sebagai destinasi wisata(2). Hal ini dikuatkan lagi dengan revitalisasi beberapa destinasi wisata di Kota Cirebon seperti Gua Sunyaragi, Keraton Kasepuhan, dan Taman Ade Irma Suryani yang kini bertransformasi menjadi Cirebon Waterland. Di sisi lain, pembangunan bandar udara internasional Kertajati di Majalengka yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2018 mendatang juga akan turut memicu dan memacu peningkatan jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara ke Kota Udang ini. Seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan, diharapkan iklim bisnis dan investasi di Cirebon juga semakin membaik. Akhirnya, tentu ini akan berimbas pada pembangunan kota. Untuk menghadapi situasi ini, maka tidak salah jika Cirebon disebut harus menjadi smart city demi terciptanya ekosistem pembangunan yang efektif dan efisien.

Adapun dari sisi readiness, memang perlu penelitian mendalam terutama mengenai kesiapan sarana dan prasarana penunjang serta sumberdaya manusia yang memadai. Namun begitu, tidak ada yang mustahil. Dengan dukungan jangkauan jaringan komunikasi yang luas dan cepat seperti yang dimiliki Andromax 4G LTE, pemerintah dapat menghubungkan praktisi dengan sponsor dalam hal pengembangan sarana-sarana penunjang. Hal ini tentu saja tidak akan bisa tercapai tanpa koordinasi yang baik dengan pihak lembaga-lembaga pemerintahan, BUMN, dan korporasi yang terkait seperti Aston Hotel Cirebon dan korporasi lainnya yang berada dalam sektor jasa maupun sektor riil.

Menimbang Untung Rugi

Bicara untung dan rugi, tentu itu hal yang wajar. Tak terkecuali dengan konsep smart city. Jika ditilik lebih jauh, memang ada beberapa kerugian yang dapat dialami melalui penerapan smart city ini. Pertama, dari sisi finansial di mana pemerintah akan menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk menyiapkan sarana-sarana penunjang baik yang tangible seperti gedung dan sebagainya maupun intangible seperti aplikasi penunjang berbasis smartphone dan sebagainya. Kedua, dari sisi sumberdaya manusia di mana pemerintah akan memerlukan sumberdaya manusia yang memahami teknologi informasi dan komunikasi dalam jumlah yang memadai. Selain itu, dalam manajemen sumberdaya manusia, pemerintah juga akan menghabiskan cukup banyak waktu untuk melakukan pelatihan-pelatihan kepada perangkat-perangkat pemerintahan dalam lembaga-lembaga pelayanan publik terkait dalam rangka menyambut sistem pelayanan baru yang terintegrasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. 

Meskipun begitu, manfaat yang akan muncul dari penerapan konsep smart city ini akan lebih besar. Tidak akan ada lagi antrian panjang ketika mengurus dokumen tertentu. Birokrasi yang rumit pun nanti hanya akan tinggal sejarah. Pemerintah, melalui aparat pemerintahan terkait, dapat langsung merespon keluhan waarga tanpa harus mendatangi warga satu per satu. Warga juga akan dapat langsung berinteraksi dengan pimpinan pemerintahan melalui jaringan yang disediakan. Semua informasi publik tersedia lengkap di laman situs resmi milik pemerintah. Semua bentuk pembangunan dan penggunaan anggaran dapat terlihat jelas. Semuanya hanya dengan ketukan jari di layar smartphone.

Akhirnya, penerapan konsep smart city hanya tinggal membutuhkan sedikit pengenalan dan gambaran yang mengena dari pemerintah kepada warganya. Dalam praktiknya, tentu saja pemerintah bisa menggandeng komponen-komponen warga terutama dari kalangan muda. Komunitas-komunitas yang aktif berkegiatan di Cirebon seperti Komunitas Blogger Cirebon dan komunitas lainnya bisa menjadi corong yang efektif untuk mengenalkan konsep smart city kepada warga. Dengan begitu, penerimaan warga bisa lebih mengena dan pembangunan menuju Cirebon Smart City bisa berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Cirebon Smart City, Pelayanan Masyarakat dalam Ketukan Jari Cirebon Smart City, Pelayanan Masyarakat dalam Ketukan Jari Reviewed by Ugit Rifai on Tuesday, October 27, 2015 Rating: 5

No comments:

++ Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan. ++
++ Klik 'subscribe by email' untuk mendapatkan pemberitahuan jika ada komentar baru. ++

Powered by Blogger.